Minggu, 25 Oktober 2015

Memperkuat Bisnis UMKM di pedesaan

Kalau melihat kondisi saat ini arah pandang masyarakat desa bahwa seolah-olah bisnis itu harus dikota segala fasilitas ada dikota, lowongan kerja lebih banyak di kota, sekolah lebih baik dikota, tempat tinggal lebih keren di kota, internet lebih leluasa dikota, konsumen potensial lebih banyak di kota, orang kaya lebih banyak di kota, putaran uang lebih banyak di kota, kalau begini terus selamanya tentu tidak akan selesai menimbulkan masalah-masalah baru dikota dan masalah-masalah baru di pedesaan.

Mungkin tidak banyak orang menyadari bahwa "potensi" bisnis di desa sebenarnya sangat kuat dengan berbagai keunggulan yang "melimpah" ruah, tapi memang perlu keberanian, perlu konsistensi, perlu kesamaan arah,perlu kemampuan management kewilayahan yang sangat kuat untuk memulainya, sehingga tidak bolak-balik cerita yang ujungnya tidak merubah apapun.

Dari mana mulainya ?
Potensi yang sudah tersedia melimpah didesa adalah antara lain bahan baku, sayur mayur mau diolah menjadi apapun bisa dilakukan di desa, pohon bambu dan kayu-kayuan lainnya melimpah di desa mau dibuat produk apapun bisa dilakukan di desa, buah-buahan, hasil perkebunan, bebatuan, tanah, tambang, batu - bata, air, dan lain-lainnya semuanya melimpah didesa, mulailah diproduksi didesa, dipajang didesa, dibuat pasarnya didesa, dibuat kawasan bisnisnya didesa, dibuat pabriknya didesa, dibuat jalannya didesa, didukung promosinya didesa, didorong konsumen kotanya datang kedesa, didorong masyarakat desa untuk direkrut menjadi karyawan didesanya, dilatih semua keterampilannya, disediakan kursus-kursus, sekolahan-sekolahan, perguruan tinggi dan sejenisnya untuk lebih banyak lagi berdiri di desa-desa, datangkan dan dipermudah berbagai permesinan agar tersedia di desa termasuk perdagangannya didesa, spare part, bengkel-bengkel dan tekhnisinya dikirim kedesa. 

Selama ini dananyapun sudah sangat cukup tapi fokusnya masih ditaburkan di kota dan karena itulah mengakibatkan "kesenjangan"kota dan desa menjadi semakin jauh yang ahirnya menimbulkan penumpukan pengangguran karena menunggu lowongan kerja dikota, timbul urbanisasi berbondong-bondong masyarakat desa ke kota, timbul gepeng melimpah dikota, timbul PSK karena banyak permintaan dikota, timbul preman karena banyak lahan untuk "digarap" di kota, timbul koruptor karena kasih sayangnya harus dipenuhi dikota, timbul polusi karena semua proses produksi dan lalulintas kendaraan menumpuk dikota, timbul kemacetan MUDIK karena harus pulang dari kota kedesanya, timbul demo-demo karena tingkat kecemburuan sosial semakin tinggi,dan sejenisnya.

Timbullah kontradiksi keadaan di pedesaan, di satu sisi digembar-gemborkan pembangunan didesa, pengaliran dana pedesaan, pemerataan pembangunan desa dan kota sedangkan disisi lainnya pemuda-pemudi desa yang produktif dari semua jenjang mengalir kekota, masyarakat generasi tuanya terus mendorong anak-anaknya berlomba-lomba untuk berhasil dalam segala bidang di kota dengan demikian yang tersisa didesa adalah orang-orang yang terlalu betah saja, tidak mau kekota, atau orang orang hebat yang terus-menerus dengan telaten membangun desanya walaupun dengan segala keterbatasannya, akhirnya desa itu " kosong." 

Pertanian tidak menarik lagi, peternakan sisa beberapa gelintir saja, perikanan tingal kolam kosong saja, pepohonan dibiarkan tak terurus, karena itu suplai hasil pertanian dari desa kekota menjadi kekurangan terus karena konsumen dikota bertambah berlipat-lipat termasuk orang desa yang bergelombang datang ke kota sedangkan produksi pertanian didesa berkurang dengan demikian harga menjadi mahal dan terus menanjak semakin mahal setelah terjadi hal demikian orang-orang pintar pura-pura hebat langsung saja melakukan "import" daging, import beras, import cabe rawit, import kentang, import kedelai, import jagung, import sayur, import singkong, import ikan, import duren, import buah apel, import anggur, import jeruk kalau perlu suatu saat import keong.

Ironis sekali, padahal sejak duduk di SD sampai sarjana negaraku sangat di banggakan sebagai negara agraris, negara yang 2/3 wilayahnya adalah wilayah perairan, wilayah yang sangat subur dan kaya-raya, wilayah yang masyarakatnya terkenal didunia sangat "ramah" dan sangat kuat gotongroyongnya karena adanya budaya tradisi pedesaan atau adat turun-temurun.

Perguruan tinggi sebagai cerminan potensi sumber para pakar sangat banyak, sangat melimpah setiap tahun mewisuda puluhan ribu lulusannya yang sudah "pasti" siap tempur di desanya tapi ternyata nyaris tidak ada yang menyentuh desanya, singkong yang dari dahulu seperti itu tetap seperti itu tidak ada perubahan berarti, pisang yang dulu seperti itu tetap seperti pisang yang dulu tidak ada perubahan, jeruk yang dari dulu seperti itu tetap masih seperti yang dulu, tapi "aneh" bin ajaib disupermarket banyak pisang import yang sangat muluuus dan mahaaal katanya itu pisang import, jeruk banyak yang muluuus, warnanya menariiik katanya itu jeruk import, duren banyak yang besaaar katanya itu duren import daging yang muluuus katanya daging import, kedelai yang mulus katanya kedelai import, ya tuhaaan pada kemana para ahli yang puluhan ribu itu ?

Siapa yang berani memulai ?
Apakah nanti saja menunggu investor asing untuk menanam pisang di desa kita, atau menunggu investor asing untuk menanam singkong di desa kita ? wooow... !

Semoga...!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar